Benteng Tapanuli

Walhi Sumut Gugat Izin Lingkungan Proyek PLTA Batang Toru

Aktivis Walhi saat menggelar aksi sekaligus mendaftarkan gugatan atas izin lingkungan PLTA Batang Toru di PTUN Medan, Rabu (8/8/2018).

MEDAN, BENTENGTAPANULI.com– Bersama 36 advokat di Sumatera Utara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Rabu (8/8/2018). Mereka mendaftarkan gugatan atas izin lingkungan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru.

Langkah itu dikarenakan proyek PLTA dinilai akan merusak habitat bagi banyak satwa liar dan tumbuhan yang dilindungi dan terancam punah di Batang Toru.

“Kami menilai megaproyek itu lebih banyak dampak buruknya bagi lingkungan dan masyarakat. Untuk itu, kita mendaftarkan gugatan terkait izin lingkungan dari PT NSHE,” kata Direktur WALHI Sumut Dana Prima Tarigan.

(Baca: PLTA Batang Toru Selesai, Diharap Mampu Gairahkan Investasi Sumatera ‎)

Dana menuturkan, wilayah pembangunan PLTA berada di kawasan hutan Batang Toru, yang menjadi habitat Orang Utan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis). Dimana, Orang Utan Tapanuli merupakan satu-satunya jenis kera besar di dunia yang endemik pada satu provinsi.

“Kawasan ini juga menjadi habitat bagi banyak satwa liar dan tumbuhan yang dilindungi serta terancam punah, seperti Harimau Sumatera, beruang madu, tapir, kambing hutan, termasuk burung enggang gading dan Burung Kuau serta berbagai jenis bunga bangkai dan raflesia,” ucap Dana.

PLTA Batang Toru merupakan proyek PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE) yang digadang-gadang sebagai PLTA terbesar di Pulau Sumatera, dengan kapasitas 510 MW.

Pembangunannya meliputi tiga kecamatan di Tapanuli Selatan, yaitu Sipirok, Marancar dan Batang Toru. Sejak dicanangkan pada tahun 2016, pembangunan PLTA ini ditarget selesai dan beroperasi pada 2021 mendatang.

“Sebenarnya klaim kapasitas 510 MW merupakan suatu tanda tanya karena kapasitas itu hanya tercapai selama 6 jam setiap hari. Proyek ini didesain untuk menyuplai listrik pada saat beban tinggi dari pukul 18.00 hingga 24.00 WIB. Maka, aliran sungai akan disimpan selama 18 jam kemudian dilepaskan untuk menghasilkan listrik selama 6 jam. Bayangkan, sungai menjadi kering selama 18 jam dan banjir selama 6 jam,” ujar Dana.

Batang Toru terletak di pinggir Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) dan di salah satu lokasi di daratan Sumatera yang paling rawan gempa bumi. Pemecahan bendungan akibat gempa bisa berakibat fatal bagi masyarakat yang tinggal di hilir.

“Proyek PLTA ini juga akan sangat berdampak sosial dan ekonomi kepada masyarakat yang tinggal di wilayah hilir bendungan, sawah yang dipinggir sungai tidak akan bisa digarap lagi. Masyarakat yang selama ini mengelola hutan dan DAS secara lestari sebagai sumber penghidupan mau beralih ke mana,” kata Dana.

(Baca: Walhi dan Masyarakat Sipirok Tolak Pembangunan PLTA Batangtoru oleh PT NSHE)

Salah satu tim kuasa hukum WALHI Sumut Surya Adinata mengatakan, izin lingkungan PT NSHE bertentangan dengan Undang-Undang tentang penerbitan izin lingkungan, asas-asas pemerintahan yang baik dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup serta peraturan-peraturan lainnya.

(Baca: WALHI Menolak Proyek PLTA Batangtoru NSHE)

“Terdapat potensi kerusakan lingkungan, konflik masyarakat, dan risiko punahnya orang utan akibat kehilangan dan fragmentasi habitat. Proyek ini lebih banyak memberikan dampak buruk bagi lingkungan serta masyarakat serta bertentangan dengan aturan perundang-undangan,” pungkasnya.